GrowUrl.com - growing your website

Rabu, 03 September 2008

Gizi Buruk di Tengah Kemegahan Kota

Gizi.net - Gizi buruk akan terus berputar di tengah kemiskinan. Tanpa kepedulian pemerintah, warga miskin tak bisa mengubah kualitas hidupnya. Status gizi yang baik sangat diperlukan untuk anak di bawah lima tahun (balita). Pada usia ini pertumbuhan dan perkembangan otak sangat pesat. Fase-fase pertumbuhan tersebut akan terlewat jika gizi penunjangnya tidak terpenuhi.Pertumbuhan otak balita bisa tidak optimal bila terus kekurangan gizi. Akibatnya, kemampuan berpikirnya terbatas. Jika angka kasus seperti itu sangat tinggi, rantai generasi bisa terputus. Kasus balita kekurangan gizi juga terjadi di Jakarta Barat. Sedikitnya 132 balita di wilayah itu berstatus gizi buruk. Angka tersebut ditemukan melalui survei terhadap delapan kecamatan di Jakarta Barat. ''Kasus gizi buruk lebih banyak disebabkan oleh faktor sosial ekonomi masyarakat,'' ungkap Kepala Suku Dinas Kesehatan Masyarakat Jakarta Barat, dr Tini Suryanti.Berdasarkan data Sudin Kesehatan Masyarakat Jakarta Barat, dari 2.673 balita yang disurvei 4,9 persen terdiri dari balita berstatus gizi buruk. Dibandingkan pemkot lainnya, Jakarta Barat tergolong paling banyak memiliki balita yang berstatus gizi buruk. Menurut Tini, kenyataan itu tentu sangat mencemaskan. Dia menyarankan ibu yang sedang mengandung mengonsumsi makanan yang bergizi. Lalu, setelah mereka lahir hingga umur lima tahun juga harus tetap mendapatkan suplai makanan yang bergizi. ''Dengan gizi baik yang dihasilkan adalah aset. Namun, jika gizi buruk justru di masa mendatang menjadi beban,'' ujar Tini.Status gizi kurang tersebut dapat dilihat dari hasil kartu menuju sehat (KMS). Balita-balita tersebut memiliki berat badan di bawah garis merah. Artinya, jumlah gizi yang diperoleh masih kurang dibandingkan dengan kebutuhannya.Balita dengan kasus gizi buruk tersebut paling banyak dijumpai di Kecamatan Palmerah. Faktor kekurangan gizi pada balita di kecamatan tersebut lebih dikarenakan oleh kondisi sosial ekonomi masyarakatnya yang masih kurang mampu.Selain itu, tingkat pendidikan masyarakat juga berpengaruh terhadap konsumsi gizi balita. Makanan bergizi yang seharusnya dikonsumsi balita bukan sekadar makanan mahal. Makanan bergizi dari bahan-bahan nabati pun sangat baik dan tidak terlalu mahal. Namun, faktor kekurangan gizi tersebut masih teratasi dan belum sampai menderita kwasiorkor (busung lapar karena kekurangan protein) dan marasmus (kekurangan kalori). Jika kasus tersebut terjadi maka penanganan selanjutnya tidak hanya melibatkan ahli gizi, tetapi juga diperlukan penanganan langsung dari dokter.Kekurangan gizi ini disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari-hari sehingga tidak memenuhi angka kecukupan gizi. Penanganan terhadap kasus-kasus kekurangan gizi ditempuh dengan memberikan makanan tambahan bergizi secara gratis kepada balita-balita keluarga miskin.Masyarakat juga harus senantiasa diberi masukan untuk meningkatkan konsumsi gizi pada balita. Dewan kelurahan, kader posyandu, serta lurah juga dilibatkan untuk ikut mengatasi kasus gizi buruk pada masyarakat. ''Pihak aparat desa diharapkan turut mencari program pemecahan masalah gizi,'' kata Tini. Menurutnya, beberapa aparat desa yang terdiri dari lurah, dewan kelurahan, dan para ketua rukun warga (RW) dilibatkan dalam diskusi untuk turut memecahkan permasalahan gizi di wilayahnya. Selain program, aparat desa juga diharapkan turut mencarikan sumber dana pemenuhan kebutuhan gizi. Dekel dan kader diharapkan ikut mengatasi gizi buruk.Optimalkan PosyanduDi Jakarta Barat masih sangat sedikit ibu yang mengantarkan balitanya ke pos pelayanan terpadu (posyandu). Padahal, posyandu merupakan kegiatan rutin yang bertujuan untuk memantau pertumbuhan dan gizi balita.Kegiatan rutin yang dilakukan di posyandu diarahkan untuk memantau pertumbuhan balita yang dilakukan melalui kartu menuju sehat (KMS) setiap bulannya. Posyandu juga memberikan konsultasi gizi, pelayanan gizi, serta kesehatan dasar. ''Di posyandu diberikan contoh-contoh makanan sehat untuk balita,'' ujar Tini. Makanan sehat yang dikonsumsi tidak harus mahal.Untuk protein nabati bisa dengan mengonsumsi tahu dan tempe. Kedua jenis makanan ini sangat murah dan bergizi. Gizi balita juga ditunjang dengan makanan pendamping air susu ibu (ASI) untuk anak usia enam hingga 11 bulan. Misalnya, tim ayam, kacang-kacangan, serta sayur.Kekurangan gizi cenderung terjadi saat pemberian ASI berhenti. Hal terburuk dari akibat kekurangan gizi bagi balita adalah terjangkitnya penyakit kwasiorkor dan marasmus. Jika balita terserang kwasiorkor, mengakibatkan anak tak bisa menolak segala jenis penyakit (anoreksia), pembesaran hati disertai infeksi, anemia, dan diare. Jika terserang marasmus balita dapat menderita diare kronik serta mengalami tekanan. Detak dan napas berkurang.Apalagi jika masalah kekurangan gizi terjadi pada ibu hamil. Bukan janin dalam kandungan saja yang ikut terancam kehilangan kualitas kecerdasan, tapi juga anak-anak dalam masa tumbuh-kembang. Terlebih lagi bila masalah ini terjadi di kota besar, seperti Jakarta, yang frekuensi dan volume polusinya sangat besar. Kandungan zat berbahaya, seperti logam berat pada emisi kendaraan, akan terisap oleh si ibu dan mengalir melalui darah menembus ari-ari sebagai barrier. Semua kandungan logam berat tadi mengganggu pertumbuhan dan fungsi otak ketika janin itu dilahirkan. Timah hitam ikut mencemari sayur dan buah-buahan yang dikonsumsi anak-anak. Beberapa tahun yang lalu United Nations Environmental Programme (UNEP) menempatkan Jakarta sebagai kota terpolusi nomor tiga di dunia setelah Meksiko dan Bangkok. Bisa dibayangkan betapa parahnya ancaman polutan emisi gas buang di metropolitan ini.Padahal, tanpa harus berhadapan dengan fakta tersebut anak Indonesia sudah tergolong lemah dan memiliki angka kematian tinggi. Berdasar catatan UNICEF, laju tingkat kematian anak Indonesia termasuk tinggi dibanding negara tetangga, seperti Thailand dan Malaysia. Sebagai perbandingan, pada tahun 1997 tingkat kematian anak di Jakarta mencapai 28, di Kalimantan 67, sedangkan di NTB mencapai 81 per seribu kelahiran. Di Thailand 30 dan Malaysia sembilan.Data UNEP lainnya menyebutkan, mayoritas anak Indonesia lebih rentan terserang penyakit dibanding dengan anak dari negara lain. Ini tak lain dipicu masalah kekurangan gizi yang sejak lama menjadi kendala utama pembangunan bangsa. Departemen Kesehatan (Depkes) mencatat pada 1999 ada sekitar delapan persen anak Indonesia kekurangan gizi. Ini artinya ada sekitar 1,8 juta anak balita di seluruh Indonesia menderita malnutrisi. Namun, realitas yang ada di lapangan bisa lebih dari itu.Secara nasional, kasus kurang energi protein (KEP) memang masih tinggi. Kondisinya makin parah karena kasus lain juga muncul, seperti anemia gizi besi, kekurangan yodium, dan kurang vitamin A.Kwasiorkor dan marasmus inilah yang menyebabkan angka KEP terus tinggi. Pada 1995 diperkirakan ada 35,4 persen anak balita yang mengalami kekurangan energi protein. Kasusnya pada 1998 meningkat, mencapai 39,8 persen. Bahkan, Unicef memperkirakan 50 hingga 70 persen anak balita di Tanah Air mengalami gizi yang sangat buruk hingga menimbulkan korban jiwa. Fakta buruk tersebut juga tecermin dalam human developmet index (HDI) Indonesia yang masih yang terburuk dibanding negara-negara lainnya. Tahun lalu HDI atau indeks pembangunan manusia (IPM) mencapai 0,682 persen, padahal tahun sebelumnya 0,684 persen.Kemakmuran suatu wilayah akan terlihat dari nilai IPM wilayah yang bersangkutan. Kalau nilai IPM tinggi maka tingkat kesejahteraan masyarakat wilayah tersebut semakin baik. Ini karena IPM mengukur tiga dimensi pokok pembangunan manusia yang dinilai mencerminkan status kemampuan dasar penduduk, yaitu 1) umur panjang dan sehat yang mengukur peluang hidup, 2) berpengetahuan dan berketerampilan, dan 3) akses terhadap sumber daya yang dibutuhkan untuk mencapai standar hidup layak. Indeks yang tingkat pendapatan, harapan hidup, dan pencapaian pendidikan ini menunjukkan bahwa tahun lalu Indonesia hanya menempati urutan ke-112 dari 175 negara yang disurvei. Indonesia tentu harus bergerak cepat agar bisa mengubah citranya di mata internasional. Berdasarkan HDI, Indonesia terasa tidak punya harga diri. Indonesia tertinggal jauh dibanding dengan negara lain. Vietnam saja sudah menyusul dengan HDI 109. Indonesia hanya di sedikit atas Kamboja (130, Myanmar (131), dan Laos (135).Jakarta saja masih menyedihkan, apalagi dengan kota-kota lain di Tanah Air. Anak yang kekurangan gizi masih tinggi. Bila fakta ini terus bertambah, lalu pada saat yang bersamaan udara juga terus terpolusi maka kualitas anak akan menurun. Keduanya sama-sama berdampak buruk, bisa mengakibatkan terjadinya kemerosotan tingkat kecerdasan.

Sumber : http://www.republika.co.id